![Description: unej-logo.jpg](file:///C:\Users\ASUS\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
MASALAH ETIS KONSUMEN
Diajukan
guna memenuhi
tugas Matakuliah Etika Bisnis
Dosen Pengampu: Mukhamad Zulianto, S.Pd., M.Pd.
Oleh:
Fendi Perdana (160210301066)
Fitri Ayu Sri W (160210301070)
Hilaliyah Trie R.D. (160210301081)
Syaidatul Faizah (160210301085)
Septin Bilkhis Silviana
(160210301088)
Tieo Putra Pratama (160210301089)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2017
Masalah Etis Konsumen
1. Perhatian Untuk Konsumen
Kesadaran akan kewajiban bisnis terhadap para koansumen belum
begitu lama timbul dalam dunia bisnis dan dibanyak tempat belum berakar dalam
dan belum begitu kuat. Bisnis dimulai dengan menyalurkan semua perhatiannya
kepada produknya, bukan kepada konsumen. Artinya, seseorang yang ingin memulai
sebuah bisnis harus fokus terhadap produknya mengenai kualitas produk, daya
tarik produk, dan manfaat produknya untuk konsumen.
Hak-hak konsumen yang dipandang sebagai jalan masuk yang tepat ke
dalam masalah etis tentang konsumen sangat diperlukan. Presiden John F. Kennedy
menetapkan empat hak yang dimiliki setiap konsumen: the right to safety, the
right to be informed, the right to choose, the right to be heard. Perumusan hak
konsumen ini agak kurang lengkap, maka ada baiknya untuk mempertimbangkan
keempat hak ini secara mendetail.
1.
Hak atas keamanan
Konsumen berhak mendapatkan produk yang aman, artinya produk yang
tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan
kesehatan atau bahkan mengancam jiwa setiap konsumen. Sebagai contoh: adanya
obat pengawet pada makanan, mainan anak, kendaraan bermotor, dll. Risiko itu
harus dibatasi sampai tingkat seminimal mungkin dan konsumen harus sadar dengan
penggunaan sebuah produk dengan baik.
2.
Hak atas informasi
Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan mengenai
produk yang dibelinya, apa produk itu? (Mengenai bahan bakunya), bagaimana cara
memakainya dengan baik? Dan risiko yang ditimbulkan dari produk tersebut.
3.
Hak untuk memilih
Konsumen berhak untuk memilih berbagai produk dan jasa yang
ditawarkan. Kualitas dan harga produk bisa berbeda sehingga konsumen berhak
membandingkannya sebelum mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut.
4.
Hak untuk didengarkan
Konsumen berhak keinginannya tentang produk atau jasa didengarkan
dan dipertimbangkan, terutama keluhannya dan produsen harus menerima baik
keluhan tersebut. Hak ini tidak merupakan hak legal yang dapat dituntut di
pengadilan.
5.
Hak lingkungan hidup
Melalui produk yang digunakan konsumen dapat memanfaatkan sumber
daya alam. Konsumen berhak mendapatkan produk yang berkualitas sehingga tidak
mengganggu lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses alam.
6.
Hak konsumen atas pendidikan
Konsumen mempunyai hak untuk secara positif dididik ke arah yang
baik terutama di sekolah dan melalui media massa. Karena konsumen atau
masyarakat harus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan
haknya.
2. Tanggung Jawab Bisnis untuk
Menyediakan Produk yang Aman
1. Teori kontrak
Menurut pandangan ini
hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak
dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu. Jika
konsumen membeli sebuah produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan
perusahaan yang menjualnya. Perusahaan dengan tahu dan mau menyerahkan produk
dengan ciri-ciri tertentu kepada si pembeli dan si pembeli membayar jumlah uang
yang disetujui. Karena kontrak diadakan dengan bebas, produsen berkewajiban
menyampaikan produk dengan ciri-ciri tersebut –bukan sesuatu yang berbeda- dan
si konsumen berhak memperoleh produk itu setelah sejumlah uang dilunasi menurut
cara pembayaran yang telah disepakati.
Pandangan kontrak ini
sejalan dengan pepatah Romawi kuno yang berbunyi caveat emptor, “hendaklah si
pembeli berhati-hati”. Sebagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak, kita
harus membaca dengan teliti seluruh teksnya demikian juga si pembeli dengan
hati-hati harus mempelajari keadaan produk serta ciri-cirinya, sebelum dengan
membayar ia menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan sesuai
dengan apa yang tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban
penjual memperoleh dasarnya dari situ.
Kontrak harus mempunyai
beberapa syarat agar menjadi sah. Ada tiga syarat yang terpenting. Pertama,
kedua belah pihak harus mengetahui betul baik arti kontrak maupun sifat-sifat
produk. Misalnya jika satu pihak
mengerti bahwa kontrak itu hanya penyewaan sedangkan pihak lain mengerti bahwa
kontrak itu hanya tebtang penjualan, maka kontrak itu menjadi tidak sah. Kedua,
kedua belah pihak harus melukiskan dengan benar fakta yang menjadi objek
kontrak. Ketiga, tidak boleh terjadi, kedua belah pihak mengadakan kontrak
karena dipaksa atau karena pengaruh yang kurang wajar seperti ancaman.
Karena merupakan
kontrak, transaksi jual beli mengandung hak dan kewajiban untuk kedua belah
pihak, baik produsen maupun konsumen. Jika dipandang dari sudut produsen,
kewajiban paling penting adalah melaksanakan kontrak sesuai dengan
ketentuannya. Bisnis juga berkewajiban menjamin agar produk mempunyai ciri-ciri
yang diharapkan konsumen. Yang paling penting adalah bahwa produk 1. Bisa
diandalkan, berarti akan berfungsi sebagaiman mestinya, 2. Dapat digunakan
selama periode yang diharapkan, 3. Dapat dipelihara atau diperbaiki bila rusak,
4. Aman dan tidak membahayakan kesehatan atau keselamatan si pemakai.
Tetapi tidak bisa
dikatakan juga bahwa hubungan produsen – konsumen, selalu dan seluruhnya
berlangsung dalam kerangka kontrak. Karena itu pandangan kontrak dari beberapa
segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 keberatan berikut terhadap pandangan
ini .
a. Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan
konsumen berada pada taraf yang sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat
persamaan antara produsen dan konsumen,
khususnya dalam konteks bisnis modern .
b. Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak
mengandaikan hubungan langsung antara produsen dan konsumen, padahal konsumen
pada kenyataannya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen .
c. Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi
konsumen dengan baik. Kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung
pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlanjur
menyetujui kontrak jual beli, padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa
diandalkan, akan berumur lama, akan
bersifat aman dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak
jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana.
2. Teori Perhatian semsetinya
Juga disebut dengan the
due care theory. Berbeda dengan pandangan kontrak, pandangan ini tidak
menyetarakan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dari kenyataan bahwa
konsumen selalu dalam posisi lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak
pengetahuan dan pengalaman tentang produk yang tidak dimiliki konsumen.
Kepentingan konsumen dinomorsatukan, karena produsen dalam posisi yang kuat
dalam menilai produk. Ia mempunyai kewajaiban menjaga agar konsumen tidak
mengalami kerugian dari produk yang dibelinya. Motto yang berlaku disini
bukannya caveat emptor (hendaklah si pembeli berhati-hati) melainkan caveat
venditor (hendaklah si penual berhati-hati). Produsen bertanggungjawab atas
kerugian yang dialami konsumen dengan memakai produk, walaupun tanggung jawab
itu tidak tertera dalam kontrak jual beli atau bahkan disangkal secara
eksplisit.
Pandangan “perhatian
semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen dan
produsen melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen.
Karena itu tekanannya bukan hanya pada segi hukum(seperti teori kontrak) saja,
melainkan pada etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi pandangan ini
adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
Norma dasar ini dapat diberi pondasi lagi, baik dalam teori etika yang disebut
deontologi (dan teori hak), maupun dalam utilitarisme, maupun juga teori
keadilan. Semua usaha untuk membenarkan norma “tidak merugikan” ini dapat diterima, sehingga teori
“perhatian semestinya” mempunyai basis etika yang teguh. Pendasaran yang
berbeda-beda itu bisa disingkatkan sebagai
·
Norma tidak
merugikan bisa didasarkan atas teori deontologi (dan teori hak). Sebab, kita
selalu harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan pada dirinya dan tidak
pernah boleh memperlakukan dia sebagai sarana belaka. Karena itu orang lain
mempunyai hak positif untuk dibantu, jika ia tidak bisa membantu dirinya.
Produsen yang tidak memperhatikan konsumen, akan mengorbankan dia pada
tujuannnya sendiri.
·
Norma tidak
merugikan bisa didasarkan pula atas teori utilitarianisme, karena jika norma
ini diterima setiap orang akan beruntung.
·
Norma ini juga
didasarkan atas teori keadilan
Dapat disimpulkan bahwa
pandangan”perhatian semestinya” ini lebih memuaskan daripada pandangan kontrak.
Namun juga mempunyai kelemahan.
3. Teori biaya sosial
Teori ini menegaskan
bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kelemahan produk dan setiap
kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Hal itu berlaku
juga, jika produsen sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam
merancang serta memproduksi produk bersangkutan atau jika mereka sudah
memperingatkan konsumen tentang resiko yang bersangkutan dengan pemakaian
produk. Menurut para pendukung teori ini semua akibat negatif dari produk
(social costs) harus dibebankan kepada produsen. Hal itu mereka lihat sebagai
satu-satunya cara untuk memaksakan produsen membuat produk-produk yang aman.
Teori ini merupakan dasar bagi ajaran hukum yang disebut strict liability (tanggung
jawab ketat). Dapat dimengerti, kalau teori biaya sosial ini secara khusus
mendapat dukungan dari para aktivis gerakan konsumen.
Teori biaya sosial ini
merupakan versi paling ekstrem dari semboyan caveat venditor (hendaklah si
penjual berhati-hati). Walaupun teori ini paling mengintungkan bagi konsumen,
rupanya sulit mempertahankannya juga. Kritik yang yang dikemukakan terhadap
teori ini, bisa disingkatkan sebagai berikut. Pertama teori biaya sosial
tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal-hal
yang tidak diketahui atau tidak bisa dihindarkan. Menurut keadilan
kompensantoris, orang harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya yang
diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya. Hanya atas syarat ini orang
harus memberi ganti rugi. Kedua, teori biaya sosial membawa kerugian ekonomis.
Bila teori ini dipraktekkan, produsen terpaksa harus mengambil asuransi
terhadap klaim kerugian dan biaya asuransi itu bisa menjadi begitu tinggi,
sehingga tidak terpikul lagi oleh banyak perusahaan. Apalagi teori ini akan
mengakibatkan suasan kurang sehat dalam masyarakat, bila gara-gara alasan apa
saja konsumen menuntut produsen di pengadilan. Ketiga, sepintas lalu rupanya
teori biaya sosial itu dengan paling baik melindungi si konsumen. Namun
demikian, pada kenyatannya konsumen dirugikan juga seandainya teori ini
dipraktekkan. Akibat banyaknya tuntutan ganti rugi, produk akan bertambah
mahal. Teori ini kurang memperhatikan tanggung jawab konsumen sendiri.setelah
produk dibuat dengan perhatian semestinya dan dengan memberi peringatan
terhadap risiko yang ada, konsumen sendiri harus memakai produk dengan baik dan
hati-hati. Teori ini terlalu berat sebelah dengan membebankan segala tanggung
jawab kepada produsen. Konsumen bertanggung jawab juga. Tetap ada unsur
kebenaran dalam semboyang kuno caveat emptor (hendaklah si pembeli
berhati-hati)
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bawa produsen
bertanggung jawab untuk menyediakan produk yang aman bagi konsumen. Bila
produknya mengakibatkan kerugian bagi konsumen disebabkan karena kesalahan
produksi atau konstruksi maka produsen harus bertanggung jawab atas hal
tersebut namun jika produk disalahgunakan oleh konsumen, produsen tidak
bertanggung jawab atas hal tersebut. Produsen berkewajiban memberikan
peringatan dalam petunjuk pemakaian akan bahaya yang melekat pada suatu produk
sehingga dapat meminimalisir ataupun mencegah bahaya yang akan disebabkan dari
pemakaian produk tersebut. Produsen harus menjamin bahwa produknya aman. Baik
konsumen maupun produsen memiliki tanggung jawabnya masing-masing.
Sebagai konsumen kita memiliki hak untuk mendapatkan produk
yang aman dari produsen, oleh sebab itu terhadap UU mengenai perlindungan
konsumen untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Dalam bisnis baik
produsen maupun konsumen harus menaati hukum bisnis yang ada untuk mewujudkan
sebuah bisnis yang aman dan adil untuk semua pelaku bisnis.
3. Tanggung Jawab Bisnis Lainnya
terhadap Konsumen
Dalam pasal sebelumnya kita telah
mempelajari tanggung jawab moral bisnis dalam menjamin keamanan produk. Biarpun
banyak produk yang membawa resiko tertentu untuk pemakai, khususnya resiko bagi
keselamatan atau kesehatan, produsen berkewajiban membatasi resiko itu sampai
seminimal mungkin. Terdapat tiga kewajiban moral yang masing-masing berkaitan
dengan kualitas produk, harganya, dan pemberian label serta pengemasan:
1. Kualitas
produk
Kualitas produk harus sesuai dengan apa yang
dijanjikan oleh produsen dan apa yang sewajarnya diharapkan oleh konsumen.
Karena konsumen berhak atas produk yang dibeli, maka bisnis dalam menyampaikan
produk harus produk yang berkualitas (tidak kadaluwarsa).
Salah satu cara yang biasanya ditempuh untuk
menjamin kualitas produk yaitu memberikan garansi. Garansi dibagi menjadi dua
macam, yaitu; garansi eksplisit dan garansi implisit. Garansi eksplisit
menyangkut ciri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya, dan sebagainya.
Apabila produk rusak dalam waktu tertentu, penjual melibatkan diri untuk
memperbaikinya atau atau menggantikannya dengan produk baru. Garansi implisit
terjadi apabila dalam iklan dan promosi tentang produk dibuat janji tertentu
atau bila konsumen mempunyai harapan sesuai dengan hakikat produk. Misalnya
jika dalam suatu iklan dijelaskan bahwa pisau bebas karat, saya berhak
mendapatkan pisau baru atau uang kembali apabila pisau itu berkarat.
Kualitas produk tidak saja merupakan suatu tuntutan
etis melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis.
Sebagaimana sering terjadi, di sini pun etika sejalan dengan bisnis yang baik.
Contohnya ialah perusahaan Amerika, Xerox, perintis dalam industri mesin
fotocopy yang kalah persaingan pasar kepada perusahaan-perusahaan jepang.
Perusahaan Xerox kalah dalam kualitas produk. Oleh karena itu, perusahaan
melontarkan program ketat untuk meningkatkan kualitas. Alhasil, perusahaan
Xerox mampu menguasai pasar kembali dengan harga terjangkau.
2. Harga
Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor
seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba yang
wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas sepintas lalu rupanya harga yang adil
adalah hasil akhir dari perkembangan daya-daya pasar. Harga pasar yang adil
dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana yang dilakukan pada pasar
tradisional. Harga dapat dikatakan adil apabila disetujui oleh semua pihak yang
terlibat dalam proses pembentukannya. Pengaruh pasar memang merupakan prinsip
etis yang penting dalam menemukan harga.
Namun, pasar tidak dapat dikatakan salah satu
prinsip untuk menentukan harga adil, sebagaimana yang dikatakan oleh Adam
Smith. Agar menjadi adil, harga tidak boleh merupakan hasil mekanisme pasar
secara murni. Terdapat beberapa alasan mengapa prinsip pasar tidak cukup.
Pertama, pasar praktis tidak pernah smperna. Kedua, para konsumen sering kali
dalam posisi lemah untuk membandingkan harga serta menganalisis semua faktor
yang turut menentukan harga. Ketiga, alasan terpenting adalah bahwa cara
menentukan harga menurut mekanisme pasar saja bisa mengakibatkan fluktuasi
harga terlalu besar. Fluktuasi harga terlalu besar akan merugikan konsumen dan
produsen. Konsumen merasa kebetuhan hidupnya sulit terpenuhi, sedangkan bagi
produsen akan mengalami bangkrut karena mengalami defisit akibat harga terlalu
rendah. Oleh karena itu, stabilitas harga perlu diakui sebagai prinsip untuk
menentukan adil tidaknya harga.
Dalam situasi modern, harga yang adil terutama
merupakan hasil dari penerapan dua prinsip tersebut adalah pengaruh pasar dan
stabilitas harga. Secara khusus, ini menjadi tugas pemerintah untuk mencari
keseimbangan antara harga pasar bebas dan perlunya stabilitas. Kompetisi bebas
dalam hal harga dengan demikian cukup dibatasi, tetapi sulit untuk ditentukan
bagaimana konkretnya harga yang adil. Untuk dapat menemukan sebuah kompas moral
di bidang ini, perlu ditunjukkan kepada pikiran fundamental bahwa manusia
selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh
diperlakukan sebagai sarana belaka. Tujuan ini lebih mudah tercapai, apabila
proses pembentukan harga sedapat mungkin berlangsung dalam suasana terbuka.
Seperti sering terjadi dalam etika, di sini pun
tuntutan etis lebih mudah didekati dari segi negatif daripada segi positif.
Bersama Garret dan Klonoski, kita dapat mengatakan bahwa harga menjadi tidak
adil setidak-tidaknya karena empat faktor berikut:
a) Penipuan
Terjadi apabila
produsen atau distributor berkolusi untuk menentukan harga. Perilaku bisnis ini
bertentangan dengan etika pasar bebas. Penipuan semacam ini dilakukan dengan
maksud mencari untung yang tidak wajar. Tetapi cara seperti ini merupakan tidak
etis karena penentuan harga dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Pembeli
seolah-olah mempunyai kesan bahwa berpengaruh dalam menentukan harga.
Realitanya, harga ditentukan oleh sepihak, pembeli sebenarnya diperdaya.
b) Ketidaktahuan
Transaksi jual beli
merupakan suatu persetujuan yang mengendalikan kebebasan pada kedua belah pihak
yang terlibat di dalamnya dan kebebasan menuntut, agar orang bersangkutan tahu
tentang unsur-unsur relevan dalam keputusan yang mereka ambil. Pembeli tidak
bebas dalam mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi harga. Oleh karena itu,
pengetahuan pembeli pada harga terbatas. Berikut adalah beberapa contoh harga
menjadi kurang akibat ketidaktahuan:
v Pada
kemasan produk, penjual memberikan harga lebih tinggi pada kemasannya agar
pengecer dapat menjual harga dengan harga lebih rendah. Pembeli mendapatkan
kesan seolah-olah membayar dengan harga lebih rendah, akan tetapi harga
tersebut merupakan harga biasa.
v Tokoh
menawarkan harga obralan, padahal harga tersebut ialah harga biasanya.
v Toko
memberikan diskon sekian persen, padahal sebelumnya harga dinaikkan dulu.
v Toko
serba ada yang menjual produk dengan memakai slogan “bayar satu, bawa dua”,
tetapi sebelumnya harga sama dengan harga dua produk tersebut.
v Produsen
besar bisa menjual produk yang sama dengan menggunakan dua merk, kemasan, dan
harga yang berbeda dengan pertimbangan konsumen akan berpendapat bahwa barang
lebihmahal adalah barang lebih berkualitas.
v Restoran
tidak mencatat harga pada daftar makanan agar bisa memasang harga seenaknya.
c) Penyalahgunaan
kuasa
Penyalahgunaan kuasa
ini tidak diperkenankan perusahaan menyalahgunaan posisinya yang dominasi di
pasaran. Mereka yang dilakukan dapat dihukum.
d) Manipulasi
emosi
Memanipulasi keadaan
emosional seseorang untuk memperoleh untung besar melalui harga tinggi dianggap
perbuatan yang kurang etis.
3. Pengemasan
dan pemberian label
Pengemasan dan pemberian label ini bertujuan
melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan
berfungsi untuk mempromosikan produk. Kemasan juga berisi tentang produk dan
kualitas dari produk itu sendiri. Kemasan harus dibuat semenarik mungkin guna
untuk memikat pembeli.
Dalam pengemasan juga menimbulkan masalah etis.
Misalnya isi yang terdapat pada kemasan itu tidak benar. Informasi tidak benar
ini akan menyebabkan pembeli rugi dan ada pihak lain yang dirugikan. Contohnya
di suatu negara penghasil minyak kelapa sawit. Perusahaan tersebut mengiklankan
produknya di salah satu studio penyiaran bahwa minyak kelapa sawit dapat
meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Apabila pernyataan tersebut tidak
terbukti dan sebelumnya tidak ada penelitian, maka produk tersebut tidak laku
dijual dan menyebabkan perusahaan tersebut bangkrut. Selain itu, studio penyiaran
tersebut dipandang tidak benar dalam menyiarkan suatu produk.
Produk berbahaya juga harus disebut informasi yang
dapat melindungi si pembeli dan orang lain. Informasi serupa ini harus jelas
dan mudah dimengerti. Karena hal itu demi kepentingan umum, sebaiknya instansi
pemerintah yang terkait mengatur kewajiban memberi informasi dan menentukan
pedoman tentang caranya. Misalnya produksi rokok, harus disertakan akibat dari
mengkonsumsi rokok.
Tuntutan etis yang lainnya ialah bahwa kemasan tidak
boleh menyesatkan konsumen. Misalkan kemasan dibuat lebih besar dan tinggi guna
untuk dianggap isi lebih banyak. Akan tetapi isi di dalamnya berukuran seperti
biasanya atau berbeda jauh dari kemasan tersebut. dalam hal ini, sebaiknya
konsumen tetap kritis dalam memantau masalah etis ini dan instansi pemerintah
selalu mendukung pengembangan sikap kritis konsumen.
4.
Studi
kasus: Obat hewan yang membahayakan kesahatan konsumen
Industri perunggasan juga mendapat imbas pukulan
berat sejak krisis ekonomi mulai terasa paro kedua 1997, antara lain karena
harga pakan ayam dan obat-obatan naik drastis. Studi kasus ini didasarkan atas
data-data sebelum krisis. Tidak mustahil, kini peternak ayam malah lebih mudah
tergoda menempuh cara-cra yang merugikan konsumen, karena terdesak oleh keadaan
ekonomi yang kurang ramah.
Salah
satu ciri khas peternakan ayam ialah bahwa industri ini rawan penyakit. Karena
itu industri obat hewan semakin menjadi penunjang yang hakiki untuk industri
perunggasan. Pada umumnya pemakaian obat di sektor perunggasan mempunyai tiga
fungsi. Pertama, obat dipakai untuk mengobati penyakit yang menyerang ayam
(kuratif). Kedua, obat dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit (preventif),
obat macam ini biasanya disebut vaksin. Ketiga, obat bisa dipakai juga sebagai
zat pemacu pertumbuhan (growth promotor).
Di
indonesia berlaku peraturan bahwa setiap obat hewan yang dibuat ataupun dijual,
harus melewati pengujian mutunya demi keamanan ternak dan konsumen, sebelum
diberikan nomor registrasi. Salah satu indikator yang menunjukkan pesatnya
perkembangan industri obat hewan antara 1993-1997 adalah ramainya para
pengusaha yang memburu perolehan nomor registrasi. Pengujian itu dilakukan oleh
balai pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewani (BPMSOH) dan kalau hasilnya positif,
nomor registrasi diberikan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dari Departemen
Pertanian.
Sebagaimana hampir setiap sektor industri pangan
menimbulkan masalah-masalah etis etis yang tertentu, demikianpun peternakan
ayam tidak luput dari problem-problem yang berkonotasi etika. Salah satunya
menyangkut lingkungan hidup.
Masalah
etika mengenai obat ayam
1. Ada
perusahaan yang belum mempunyai izin di bidang usaha obat hewan, tetapi sudah
melakukan kegiatan penjualan obat hewan.
2. Produk
obat hewan yang belum memiliki nomor registrasi dari perusahaan yang sudah
mempunyai izin ataupun belum, sudah diperjualbelikan di pasaran.
3. Cara
pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan standar yang berlaku untuk jenis
obat bersangkutan.
4. Bahan
baku obat hewan dijual secra bebas langsung kepada peternak ayam, padahal
seharusnya bahan baku hanya dijual kepada pabrik obat hewan untuk selanjutnya
di proses dalam bentuk obat jadi.
5. Peternak
ayam menggunakan obat-obatan manusia yang oleh perusahaan farmasi langsung
dijual kepada peternak ayam.
6. Produsen
atau penyalur obat hewan tidak memberi penyuluhan yang tepat kepada peternak
ayam atau dengan cara lain berperilaku kurang etis.
7. Obat
yang sudah dilarang karena membahayakan kesehatan manusia, masih dijual kepada
peternak ayam dan masih di pakai sebagai obat hewan.
Dalam etika bisnis, industri farmasi sering di
soroti sebagai wilayah usaha yang
mempunyai banyak masalah bekonotasi etika. Studi ini telah menunjukkan bahwa
obat hewan pun, khususnya obat ayam, terdapat masalah etis yang cukup berat.
Inti masalahnya adalah kerugian untuk masyarakat konsumen. Motif utama untuk
menyalahgunakan obat ayam ialah menempatkan kepentingan ekonomis si pengusaha
diatas kepentingan lain, khususnya kepentingan konsumen. Kesehatan masyarakat
konsumen di korbankan demi meraih keuntungan lebih besar.
Masalah
etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumenn sendiri tidak
berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan bahwa konsumen memiliki tanggung jawab.
Dari konsumen dapat diharapkan ia bersikap kritis dalam menilai produk yang
akan dibeli dan di konsumsinya. Karena itu semua pihak yang terlibat dalam
produksinya bertanggung jawab untuk menyediakan produk peternakan yang tidak
merugikan konsumen. Tanggung jawab itu pertama-tama dipikul oleh peternak.
Mereka terlibat secara langsung dalam produksi telur dan daging ayam. Jika
peternakdengan sengaja tidak menjaga waktu henti obat sebelum memotong ayam dan
menjualnya di pasaran, sebenarnya ia sedang menipu banyak konsumen. Berikutnya
produsen dan penyalur obat ayam yang bertanggung jawab.
5.
Beberapa Kasus
Jual Bakso
Daging Celeng, Pria Ini Dipidanakan
TEMPO.CO, Jakarta
- Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan
sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso.
"Sudah diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging
celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas
Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan tidak berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan tidak berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.
Analisis
Kasus :
Dalam kasus
di atas produsen telah melanggar hak-hak konsumen. Produsen tidak menggunakan
etika dalam berbisnis. Hal ini tentunya akan merugikan konsumen. Apalagi dengan
menggunakan daging celeng yang dapat membahayakan konsumen.
Daging
celeng merupakan daging yang peredarannya sebenarnya tidak dilarang oleh
Kementrian Perdagangan, namun dalam menjual daging celeng ini harus
diberitahukan kepada konsumen karena daging celeng ini diharamkan bagi umat
Islam. Penjualan daging celeng juga harus memiliki ijin yang jelas.
Pada kasus
di atas produsen sudah membohongi konsumen karena tidak menyebutkan bahwasanya
di dalam baksonya terdapat daging celeng. Dalam hal ini produsen sudah
melanggar hak atas informasi. Produsen tidak memberitahu segala informasi
mengenai produk yang diproduksi. Produsen malah membohongi konsumen dengan
mengatakan bahwa bakso yang dibuat menggunakan daging sapi. Tentu hal ini
merugikan konsumen, apalagi dengan konsumen muslim yang jelas diagama Islam dilarang
mengonsumsi daging celeng.
Produsen
juga melanggar hak atas keamanan. Daging celeng merupakan daging yang apabila
dikonsumsi membahayakan kesehatan. Daging celeng banyak mengandung cacing pita
yang membahayakan kesehatan konsumen. Peredaran daging celeng yang tidak
menggunakan sertifikat karantina atau sertifikat sanitasi dianggap sebagai
peredaran ilegal. Hal ini juga tertulis dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku pelanggaran tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 16 Tahun 1992 berupa pidana penjara
paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp150 juta.
Produsen
tidak memiliki tanggung jawab untuk menyediakan produk yang aman bagi konsumen.
Sudah pasti produsen dalam kasus di atas melanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Hukuman maksimal dari produsen yang melanggar
tersebut adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
Sebagai
produsen sebaiknya juga harus menjalankan bisnisnya dengan menggunakan etika.
Hal ini agar tidak merugikan konsumen karena konsumen sendiri juga memiliki
hak-hak yang harus dilaksanakan oleh produsen agar produsen memiliki tanggung
jawab dalam usaha yang dijalankan.
Indomie
dilarang di Taiwan Karena mengandung zat berbahaya.
VIVAnews- Mi instan merek Indomie dinyatakan dilarang
di Taiwan. Alasannya, makanan populer disegala kalangan ini ditengarai
mengandung dua bahan pengawet yang dilarang, yaitu methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga
untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan
Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang
BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau
bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik
menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang
membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya
zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan
bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam
kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila
kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota
Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua
negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Analisis
Kasus :
Dalam kasus Indomie ini produsen telah
melanggar hak-hak konsumen. Produsen tidak menggunakan etika dalam berbisnis.
Hal ini tentunya akan merugikan konsumen. Apalagi didalamnya mengandung zat-zat pengawet yang berbahaya bagi
konsumen.
Zat pengawet yang ada
di dalam mie instan sangat lah berbahaya bagi konsumen, produsen telah
melanggar hak atas keamanan, dua zat yang terkandung di
dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat)
adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama.
Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Zat ini akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan
muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Permasalahan
diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan
menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi
konsumen dan produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
produsen
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan
penyelesaian
Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 7 ( b dan
d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Seharusnya
Taiwan memberikan klarifikasi tentang adanya perbedaan standar pengawet antara Taiwan dan Indonesia,
dan Taiwan juga harus mengklarifikasi bahwa produk yang masuk melalui jalur
distribusi indofoof sudah memenuhi standar Taiwan.
Etika
di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam
kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Supaya kegiatan bisnisnya
bisa berjalan dengan lancar. Pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya
saing hasil industry di pasar internasional. Lebih parah lagi apabila pengusaha
Indonesia menganggap remeh etika bisnis. Kecendrungan makin banyaknya
pelanggaran etika bisnis yang membuat keprihatinan banyak pihak. Ketika etika
bisnis ini dilanggar, maka akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan
berefek pada kegiatan ekonomi Indonesia.
Secara logika, perusahaan
yang tidak memperhatikan etika bisnis, secara tidak langsung menghancurkan nama
perusahaan itu sendiri. Secara sederhana etika bisnis dapat di artikan sebagai
suatu aturan main yang tidak mengikat Karena bukan hukum. Etika bisnis dapat di
praktekan sebagai acuan atau Batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankannya.
Etika bisnis sangat penting karena dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen
lainnya.
sumber: Bertens, K. 2013. Etika. Kanisius. Yogyakarta.
sumber: Bertens, K. 2013. Etika. Kanisius. Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar